1. Pengertian
Aliran-Aliran Pendidikan
Aliran-aliran pendidikan adalah
pemikiran-pemikiran yang membawa pembaharuan dalam dunia pendidikan. Pemikiran
tersebut berlangsung seperti suatu diskusi berkepanjangan, yakni
pemikiran-pemikiran terdahulu selalu ditanggapi dengan pro dan kontra oleh
pemikir berikutnya, sehingga timbul pemikiran yang baru, dan demikian seterusnya.
Agar diskusi berkepanjangan itu dapat dipahami, perlu aspek dari aliran-aliran
itu yang harus dipahami. Oleh karena itu setiap calon tenaga kependidikan harus
memahami berbagai jenis aturan-aturan pendidikan. Dalam dunia pendidikan
setidaknya terdapat 3 macam aliran pendidikan, yaitu aliaran klasik, aliran
modern dan aliran pendidikan pokok di Indonesia.
- Aliran-Aliran Klasik dalam Pendidikan
Menurut Tim
dosen 2006, aliran-aliran klasik dalam pendidikan adalah sebagai berikut:
a.
Aliran Empirisme
Aliran ini menganut paham yang
berpendapat bahwa segala pengetahuan, keterampilan dan sikap manusia dalam
perkembanganya ditentukan oleh pengalaman (empiris) nyata melalui alat
inderanya baik secara langsung berinteraksi dengan dunia luarnya maupun melalui
proses pengolahan dalam diri dari apa yang didapatkan secara langsung (Joseph,
2006). Jadi segala kecakapan dan pengetahuanya tergantung, terbentuk dan
ditentukan oleh pengalaman. Sedangkan pengalaman didapatkan dari lingkungan
atau dunia luar melalui indra, sehingga dapat dikatakan lingkunganlah yang
membentuk perkembangan manusia atau anak didik. Bahwa hanya lingkunganlah yang
mempengaruhi perkembangan anak.
John Locke (dalam Joseph: 2006) tak ada
sesuatu dalam jiwa yang sebelumnya tak ada dalam indera. Ini berarti apa yang
terjadi, apa yang mempegaruhi apa yang membentuk perkembangan jiwa anak didik
adalah lingkungan melalui pintu gerbang inderanya yang berarti tidak ada yang
terjadi dengan tiba-tiba tanpa melalui proses penginderaan.
b.
Aliran Nativisme
Teori ini merupakan kebalikan dari teori
empirisme, yang mengajarkan bahwa anak lahir sudah memiliki pembawaan baik dan
buruk. Perkembangan anak hanya ditentukan oleh pembawaanya sendiri-sendiri.
Lingkungan sama sekali tidak mempengaruhi apalagi membentuk kepribadian anak.
Jika pembawaan jahat akan menjadi jahat, jika pembawaanyan baik akan menjadi
baik. Jadi lingkungan yang diinginkan dalam perkembangan anak adalah lingkungan
yang tidak dibuat-buat, yakni lingkungan yang alami.
c.
Aliran Konvergensi.
Faktor pembawaan dan faktor lingkungan
sama-sama mempunyai peranan yang sangat penting, keduanya tidak dapat
dipisahkan sebagaiman teori nativisme teori ini juga mengakui bahwa pembawaan
yang dibawa anak sejak lahir juga meliputi pembaeaan baik dan pembawaan buruk.
Pembawaan yang dibawa anak pada waktu lahir tidak akan bisa berkembang dengan
baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai dengan pembawaan tersebut.
William Stern (dalam Tim Dosen 2006: 79)
mengatakan bahwa perkembangan anak tergantung dari pembawaan dari lingkugan
yang keduanya merupakan sebagaiman dua garis yang bertemu atau menuju pada satu
titik yang disebut konvergensi.
Dari beberapa uraian diatas, teori yang
cocok dapat diterima sesuai dengan kenyataan adalah teori konvergensi, yang
tidak mengekstrimkan faktor pembawaan, faktor lingkungann atau alamiah yang
mempengaruhi terhadap perkembangan anak, melainkan semuanya dari faktor-faktor
tersebut mempengaruhi terhadap perkembangan anak.
d.
Aliran Naturalisme.
Aliran ini mempunyai kesamaan dengan teori
nativisme bahkan kadang-kadang disamakan. Padahal mempunyai perbedaan-perbedaan
tertentu. Ajaran dalam teori ini mengatakan bahwa anak sejak lahir sudah
memiliki pembawaan sendiri-sendiri baik bakat minat, kemampuan, sifat, watak
dan pembawaan-pembawaan lainya. Pembawaan akan berkembang sesuai dengan lingkungan
alami, bukan lingkungan yang dibuat-buat. Dengan kata lain jika pendidikan
diartikan sebagai usahan sadar untuk mempengaruhi perkembangan anak seperti
mengarahkan, mempengaruhi, menyiapkan, menghasilkan apalagi menjadikan anak kearah
tertentu, maka usaha tersebut hanyalah berpengaruh jelek terhadap perkembangan
anak. Tetapi jika pendidikan diartikan membiarkan anak berkembang sesuai dengan
pembawaan dengan lingkungan yang tidak dibuat-buat (alami) maka pendidikan yang
dimaksud terakhir ini berpengaruh positif terhadap perkembangan anak.
3. Aliran
pendidikan moderen di Indonesia
Menurut Mudyahardjo (2001: 142)
macam-macam aliran pendidikan modern di Indonesia adalah sebagai berikut:
a.
Progresivisme
Progresivisme adalah gerakan pendidikan
yang mengutamakan penyelenggaraan pendidikan di sekolah berpusat pada anak (child-centered),
sebagai reaksi terhadap pelaksanaan pendidikan yang masih berpusat pada guru (teacher-centered)
atau bahan pelajaran (subject-centered).
- Tujuan pendidikan dalam aliran ini adalah melatih anak agar kelak dapat bekerja, bekerja secara sistematis, mencintai kerja, dan bekerja dengan otak dan hati. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan harusnya merupakan pengembangan sepenuhnya bakat dan minat setiap anak.
- Kurikulum pendidikan Progresivisme adalah kurikulum yang berisi pengalaman-pengalaman atau kegiatan-kegiatan belajar yang diminati oleh setiap peserta didik (experience curriculum).
- Metode pendidikan Progresivisme antara lain:
1).
Metode belajar aktif.
2).
Metode memonitor kegiatan belajar.
3).
Metode penelitian ilmiah
- Pendidikan berpusat pada anak.
Pendidikan Progresivisme menganut
prinsip pendidikan berpusat pada anak. Anak merupakan pusat adari keseluruhan
kegiatan-kegiatan pendidikan. Pendidikan Progresivisme sangat memuliakan harkat
dan martabat anak dalam pendidikan. Anak bukanlah orang dewasa dalam betuk
kecil. Anak adalah anak, yang sangat berbeda dengan orang dewasa. Setiap anak
mempunyai individualitas sendiri-sendiri, anak mempunyai alur pemikiran
sendiri, anak mempunyai keinginan sendiri, mempunyai harapan-harapan dan
kecemasan sendiri, yang berbeda dengan orang dewasa. Dengan demikian, anak
harus diperlakukan berbeda dari orang dewasa.
b.
Esensialisme
Esensialisme modern dalam pendidikan
adalah gerakan pendidikan yang memprotes gerakan progresivisme terhadap
nilai-nilai yang tertanam dalam warisan budaya/sosial. Menurut esensialisme
nilai-nilai yang tertanam dalam nilai budaya/sosial adalah nilai-nilai kemanusiaan
yang terbentuk secara berangsur-angsur dengan melalui kerja keras dan susah
payah selama beratus tahun dan di dalamnya berakar gagasan-gagasan dan
cita-cita yang telah teruji dalam perjalanan waktu. Peranan guru kuat dalam
mempengaruhi dan mengawasi kegiatan-kegiatan di kelas.
- Tujuan pendidikan dari aliran ini adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah melalui suatu inti pengetahuan yang telah terhimpun, yang telah bertahan sepanjang waktu dan dengan demikian adlah berharga untuk diketahui oleh semua orang. Pengetahuan ini diikuti oleh ketrampilan. Ketrampilan, sikap-sikap dan nilai yang tepat, membentuk unsur-unsur yang inti (esensial) dari sebuah pendidikan Pendidikan bertujuan untuk mencapai standar akademik yang tinggi, pengembangan intelek atau kecerdasan.
- Metode pendidikan:
1).
Pendidikan berpusat pada guru (teacher centered).
2).Peserta
didik dipaksa untuk belajar.
3).
Latihan mental
- Kurikulum berpusat pada mata pelajaran yang mencakup mata-mata pelajaran akademik yang pokok. Kurikulum sekolah dasar ditekankan pada pengembangan ketrampilan dasar dalam membaca, menulis, dan matematika.Sedangkan kurikulum pada sekolah menengah menekankan pada perluasan dalam mata pelajaran matematika, ilmu kealaman, serta bahasa dan sastra.
c.
Rekonstruksionalisme
Rekonstruksionalisme memandang
pendidikan sebagai rekonstruksi pengalaman-pengalaman yang berlangsung terus
dalam hidup. Sekolah yang menjadi tempat utama berlangsungnya pendidikan
haruslah merupakan gambaran kecil dari kehidupan sosial di masyarakat
- Tujuan pendidikan sekolah-sekolah rekonstruksionis berfungsi sebagai lembaga utama untuk melakukan perubahan sosial, ekonomi dan politik dalam masyarakat. Tujuan pendidikan rekonstruksionis adalah membangkitkan kesadaran para peserta didik tentang masalah sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi umat manusia dalam skala global, dan mengajarkan kepada mereka keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.
- Kurikulum dalam pendidikan rekonstruksionalisme berisi mata-mata pelajaran yang berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat masa depan. Kurikulum banyak berisi masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi umat manusia. Yng termasuk di dalamnya masalah-masalah pribadi para peserta didik sendiri, dan program-program perbaikan yang ditentukan secara ilmiah.
d.
Perennialisme
Perennialisme adalah gerakan pendidikan
yang mempertahankan bahwa nilai-nilai universal itu ada, dan bahwa pendidikan
hendaknya merupakan suatu pencarian dan penanaman kebenaran-kebenaran dan
nilai-nilai tersebut. Guru mempunyai peranan dominan dalam penyelenggaraan
kegiatan belajar mengajar di kelas. Menurut perennialisme, ilmu pengetahuan
merupakan filsafat yang tertinggi, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang
dapat berpikir secara induktif. Jadi dengan berpikir, maka kebenaran itu akan
dapat dihasilkan. Penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama
adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Dengan
pengetahuan, bahan penerangan yang cukup, orang akan mampu mengenal dan
memahami faktor-faktor dan problema yang perlu diselesaikan dan berusaha
mengadakan penyelesaian masalahnya.
- Tujuan pendidikan diharapkan anak didik mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah pikiran besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol seperti bahasa, sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam, dan lain-lainnya, telah banyak memberikan sumbangan kepada perkembangan zaman dulu.
- Kurikulum berpusat pada mata pelajaran dan cenderung menitikberatkan pada sastra, matematika, bahasa dan sejarah.
e.
Idealisme
Aliran idealisme merupakan suatu aliran
ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah gambaran asli
yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli
(cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara
jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia idea. Aliran ini
memandang serta menganggap bahwa yang nyata hanyalah idea. Tugas ide adalah
memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang
telah menguasai ide, ia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat
menggunakan sebagai alat untuk mengukur, mengklasifikasikan dan menilai segala
sesuatu yang dialami sehari-hari.
Para murid yang menikmati pendidikan di
masa aliran idealisme sedang gencar-gencarnya diajarkan, memperoleh pendidikan
dengan mendapatkan pendekatan (approach) secara khusus. Sebab,
pendekatan dipandang sebagai cara yang sangat penting. Para guru tidak boleh
berhenti hanya di tengah pengkelasan murid, atau tidak mengawasi satu persatu
muridnya atau tingkah lakunya. Seorang guru mesti masuk ke dalam pemikiran
terdalam dari anak didik, sehingga kalau perlu ia berkumpul hidup bersama para
anak didik. Guru jangan hanya membaca beberapa kali spontanitas anak yang
muncul atau sekadar ledakan kecil yang tidak banyak bermakna. Pola pendidikan
yang diajarkan fisafat idealisme berpusat dari idealisme. Pengajaran tidak
sepenuhnya berpusat dari anak, atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat,
melainkan berpusat pada idealisme. Maka, tujuan pendidikan menurut paham
idealisme terbagai atas tiga hal, tujuan untuk individual, tujuan untuk
masyarakat, dan campuran antara keduanya.
- Tujuan Pendidikan
Agar
anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki
kepribadian yang harmonis dan penuh warna, hidup bahagia, mampu menahan
berbagai tekanan hidup, dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu individu
lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan tujuan pendidikan idealisme bagi
kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan sesama manusia. Karena dalam
spirit persaudaraan terkandung suatu pendekatan seseorang kepada yang lain.
Seseorang tidak sekadar menuntuk hak pribadinya, namun hubungan manusia yang
satu dengan yang lainnya terbingkai dalam hubungan kemanusiaan yang saling
penuh pengertian dan rasa saling menyayangi.
· Kurikulum
Kurikulum
yang digunakan dalam pendidikan yang beraliran idealisme harus lebih
memfokuskan pada isi yang objektif. Pengalaman haruslah lebih banyak daripada
pengajaran yang textbook. Agar supaya pengetahuan dan pengalamannya senantiasa
aktual.
DAFTAR
PUSTAKA
Tirtarahardja,
Umar dan La Sula. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Redja
Mudyaharjo. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Joseph
Mbulu, dkk. 2005. Pengantar Pendidikan
1.
Peran
Pendidikan dalam Pembangunan
Pendidikan mempunyai tugas
menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan
selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu
memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling
keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya. Apa
jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di
bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila
moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan
bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang
hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya,
pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.
2.
Pemerintah
dan Solusi Tujuan Pendidikan
Mengenai masalah
pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini
tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa
masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan
aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita
kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya
rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi,
maupun kota dan kabupaten. Penyelesaian
masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi
harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita
tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja,
jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih
rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih
menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di
daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai.
Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan
anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka
menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak
ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari
masalah-masalah pendidikan ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.
Kondisi ideal
dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal
hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal
tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu,
setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia
pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan
antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja
sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul
dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah
minim. Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang
memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki
sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan
tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat
di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang
bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut
gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”
3.
Penyelenggaraan
Pendidikan yang Berkualitas
”Pendidikan
bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk
menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam
bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga
Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain
kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan
SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan
ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta
sampai Rp 5 juta. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari
kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di
Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan
mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan
organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha
memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah
terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite
Sekolah”. Namun, pada tingkat
implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan
anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah.
Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah,
dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara
terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya. Kondisi ini akan lebih buruk dengan
adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status
pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi
ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara
mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada
pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun
berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah
beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak
pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
4. Privatisasi
Swastanisasi Sektor Pendidikan
Privatisasi
atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas
dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar
negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan
faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan
besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga
tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005). Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang
dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang
yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah
memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan
Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP
tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya,
terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan
pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk
badan hukum pendidikan. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari
modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM
Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005)
menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah
melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi
untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja
akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan
mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan
berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan
status sosial, antara yang kaya dan miskin. Hal senada dituturkan pengamat
ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan
merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh
negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan
Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan.
Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang
wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah
negeri, dari SD hingga perguruan tinggi. Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN
yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu
menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka
argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di
beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun
biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya
pendidikan. Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya,
tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya
membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap
warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk
mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru
ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat
dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar